Jumat, 03 November 2017

Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam praktek persidangan perkara perdata, sering sekali ditemukan dalam gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita-posita (uraian) yang termasuk dalam kategori wan prestasi dengan posita-posita (uraian) yang termasuk dalam hal perbuatan melawan hukum.

Umumnya para penggugat beranggapan wan prestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik) dengan alasan tergugat yang tidak memenuhi pemenuhan prestasi sebagaimana mestinya jelas melakukan pelanggaran hukum terhadap hak-hak penggugat. Dilihat sekilas, anggapan ini benar adanya, namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, maka gugatan tidak boleh mencampuradukkan antara wan prestasi dengan perbuatan melawan hukum karena akan menimbulkan kekeliruan dalam gugatan yang diajukan yang pada akhirnya mengaburkan tujuan gugatan itu sendiri serta bisa mengakibatkan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet On Vankelijk Verklaard/NO).

Ada beberapa perbedaan prinsipil antara wan prestasi dengan perbuatan melawan hukum, terdiri atas hal-hal sebagai berikut :

Sumber
Wan prestasi timbul dari persetujuan (agreement) dimana untuk mendalilkan subjek hukum telah wan prestasi harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."

Wan prestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,


Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri yang telah menentukannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1352 KUHPerdata :
"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Ada 2 (dua) kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmatig, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 (dua) kriteria tersebut akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau masuk dalam dua kategori ini berupa delik pidana sekaligus dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggungjawaban perdata (civil liability).


Timbulnya hak menuntut.
Pada wan prestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses seperti adanya pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan :
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan.

Hal ini diperkuat oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).


Tuntutan Ganti Rugi (Compensation, Indemnification)
Pada wan prestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadinya kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata :  
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan :
“Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.

Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wan prestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, dan tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate – Legal Consultant – Mediator –Legal Auditor

www.pengacarariau.com
www.konsultasihukumriau.blogspot.co.id
www.pengacaraanda.blogspot.co.id


Tidak ada komentar:

Posting Komentar