Sabtu, 28 Oktober 2017

Dilema Arbirase di Indonesia

Arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang banyak digunakan khususnya di bidang perdagangan, memang mendapatkan tempat yang cukup baik bagi kalangan bisnis, tapi kenyataannya khusus untuk wilayah Indonesia dan Vietnam, pilihan penyelesaian sengketa ini masih merupakan hal yang tidak lumrah. Inilah yang tergambar dari uraian yang disampaikan beberapa panelis pada kegiatan Legal Confex tanggal 24 Februari 2015 di Suntech Convention Hall Singapura yang dihadiri ratusan in house legal dan lawyer serta praktisi bisnis internasional.

“Pilihan penyelesaian sengketa arbitrase untuk wilayah Indonesia dan Vietnam, tampaknya bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara baik,” ungkap Nishta Kharb Shukla, Regional Counsel Asia Carestream Health Singapore yang juga diamini oleh Gregory Travaini, Advocate Herbert Smith Freehills LLP France dan Yu Jin Tay Partners DLA Piper Singapore sebagai panelis dalam tema “Insight Into International Arbitration”.

Sebagai  dalam acara Legal ConFex 2016 mewakili Kantor Hukum LN & Associates, saya merasa hal ini bukan sesuatu yang baru. Selama ini, keberadaan Arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa memang ibarat “anak ayam yang kehilangan induknya”, dimana keberadaannya diakui tetapi tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya.
Cukup pesatnya perkembangan Arbitrase di kalangan bisnis internasional, pada dasarnya karena karakteristik cepat, efisien dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, dan tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi. Biaya arbitrase juga lebih terukur. Keunggulan lain arbitrase adalah putusannya yang serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia (confidential) di mana proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan.

Berangkat dari pengaturan Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat (1) menjelaskan:
“Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Berdasarkan asas timbal balik putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. Mengenai putusan arbitrase internasional dan ketentuan pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Bab VI Pasal 65 sampai dengan Pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.

Walaupun terdapat pengaturan cukup jelas dan tegas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase internasional. Kesan ini pula yang masih mengemukakan dalam Legal ConFex 2016 mengenai pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase untuk Indonesia.

Masalah utama yang sering dipersoalkan dunia internasional bahwa pengadilan Indonesia enggan melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan putusan arbitrase asing bertentangan dengan ketertiban umum. Seperti diketahui, walaupun ketertiban umum dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi pokok hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa – dalam hal ini Indonesia- namun penerapan kriteria ini tidak selalu jelas, sehingga keadaan demikian dilihat oleh dunia internasional memberikan suatu ketidakpastian hukum.


UU No. 30 Tahun 1999 hanya mencantumkan kepentingan umum (public policy) sebagai alasan penolakan putusan arbitrase asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam Pasal 5 mencantumkan sejumlah ketentuan lain yang dapat menjadi alasan penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999). Apakah hakim pengadilan Indonesia tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah anggota Konvensi New York?.

Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan berbagai permasalahan di lapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui, prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan, dimana berarti dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang bersangkutan.

Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam arbitrase di Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional. Rumusan ini dapat diartikan bahwa putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).


Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.

Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.

Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan bahwa arbitrase adalah internasional apabila :
a. para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
b. tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan menyangkut lebih dari suatu negara.

Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal 59 dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara lain yang merupakan anngota Konvensi New York.

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang menyangkut prosedur pelaksanaan.

Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara- negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak luar.

Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL Model Law.

Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.

Noor Aufa
Advocate – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor
+6282233868677

Tidak ada komentar:

Posting Komentar