Kamis, 26 Oktober 2017

PEMALSUAN SURAT (PASAL 263 KUHP)

Pengaturan terkait dugaan tindak pidana pemalsuan surat secara umum dalam KUHP Indonesia sebagaimana tersebut pada Pasal 263 yaitu:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Berbagai jenis tindak pidana telah terangkum cukup banyak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan dari jajahan Belanda, dimana dulunya dikenal dengan istilah Wetbook Van Straftrecht (WvS). Setelah Indonesia merdeka, maka berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini, WvS dijadikan sebagai peraturan pidana yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan diubah dengan nama KUHP.

Salah satu jenis kejahatan yang dikenal dalam KUHP adalah kejahatan pemalsuan surat, dimana awal pembentukan pidana ini bertujuan tujuan melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan terhadap kebenaran suatu surat atau akte otentik.

http://www.pengacarariau.com/2017/10/malpraktik-kedokteran-dari-sisi-hukum.html

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat dalam ketentuan tersebut adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Selain itu, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
a.       Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dll);
b.      Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dsb);
c.       Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
d.      Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).

Kebenaran pada suatu surat atau akte otentik sendiri sendiri terdiri atas  4 macam , yaitu :
  1. Surat atau akte yang menimbulkan suatu hak;
  2. Surat atau akte yang menerbitkan suatu perikatan;
  3. Surat atau akte yang menimbulkan pembebasan utang; dan
  4. Surat atau akte yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.

Dalam hal surat atau akte ini, maka perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) atau tindakan perbuatan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah suatu perbuatan atau tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.

Unsur perbuatan dan 4 unsur objek surat atau akte tersebut merupakan hal yang bersifat alternative, dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek suratnya. Dalam proses pembuktiannya melalui dan dengan dengan menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada Pasal 183 jo 184 KUHAP.

Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan cara apapun mengenai suatu surat atau akte misalnya Akte Kelahiran, sehingga menghasilkan sebuah Akte Kelahiran. Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb), dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan dimana lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut (locusnya). Dalam hal ini, semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali. Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti oleh seseorang mengenai akte tersebut. Dalam hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis pada suatu perkara yang ditanganinya.


Dalam Pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat objektif. Harus ada keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah. Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti yang syah tersebut adalah hakim yakin tindak pidana telah terjadi, hakim yakin terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan hakim yakin terdakwa telah bersalah dalam mealakukan tindak pidana tanpa adanya hal-hal yang bisa memaafkan atau menghapuskan pidana.

Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah Akte Kelahiran diduga palsu kedapatan pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja dan tidak membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 263 KUHP.

Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah Akte Kelahiran selalu melalui prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja. Di dalam sebuah Akte Kelahiran harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa terjadi tanda tangan Kepala Kantor Catatan Sipil asli, tapi namanya yang fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si pembuat? Apakah Kepala Kantor Catatan Sipil atau orang-orang lain?

Menggunakan sebuah surat atau akte adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain.

Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2) Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti,  jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A. Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang bersangkutan tidak mampu mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang digelutinya bertahun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa digunakan.

Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat (2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan. Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu tidak mungkin terjadi.

R. Soesilo menjelaskan bahwa penggunaan surat palsu itu harus dapat mendatangkan kerugian. Kerugian tersebut tidak hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dsb. Masih menurut R. Soesilo, yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat 1), tetapi juga “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat 2). “Sengaja” maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Tentunya terkait dengan tahu atau tidak tahunya pemohon itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan oleh penyidik maupun dalam persidangan.


NOOR AUFA, SH, CLA
Advocate – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor
+6282233868677

Tidak ada komentar:

Posting Komentar